Jumat, 16 Mei 2014

TUGAS TERSRUKTUR                                         DOSEN PEMBIMBING
PERBANDINGAN MAZHAB                       DINY MAHDANI, S,HI, M.Pd.I




SEJARAH HIDUP IMAM MAZHAB (5 MAZHAB)

 

Deskripsi: stai.jpg








Disusun oleh:
Annisa firawati                     2012121570
Muhammad Busyairi            2012 121 575

SEKULAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN AKADEMIK

2013-2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Untuk memahami sejarah hukum Islam (tasry’)  secara sempurna sangatlah sulit manakala tidak membahas mengenai biografi Imam itu sendiri.
Dari biografi menurut sejarawan mendapatkan sebuah karakter ijtihad yang telah dihasilkan sesuai dengan pribadinya dalam memecahkan persoalan manakala melihat kejadian hukum dilapangan (law in action) yang diterka  dengan landasan normativitas (law in book). Kemudian dari melihat persoalan yang ada para ulama memecahkan persoalan menggunakan pola metodelogi tertentu yang kurang lebih dipengaruhi oleh beberapa indikator, baik keilmuan ataupun fakta hukum yang menjeratnya, sehingga mau tidak mau para ulama membuat rangkai pola bagaimana mengeluarkan hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nas al-Qur’an dan Sunna atau usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) atau para ulama biasa menyebutnya dengan istinbath hukum.[1]
B.     Rumusan masalah
1.    Apa pengertian sejarah?
2.    Bagaimana sejarah hidup Imam Mazhab (5 Mazhab)?
C.    Tujuan masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok serta supaya mahasiswa dapat mengatahui tentang biografi ulama lima mazhab.



BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH HIDUP IMAM MAZHAB (5 MAZHAB)
A.      Pengertian sejarah
Sejarah merupakan kejadian masa lampau  yang tak boleh kita lupakan, karena tanpa adanya sejarah kita tidak akan ada pada zaman seperti sekarang ini.
1). Pengertian sejarah menurut para ahli:
Roeslan Abdulgani
Ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan.
Muhammad Yamin
Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan kenyataan.
Ibnu Khaldun (1332-1406)
Sejarah didefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban manusia yang terjadi pada watak/sifat masyarakat itu.
W.H. Walsh
Sejarah itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia. Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia di masa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti.
Muhammad Ali
Muhammad Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, mempertegas pengertian sejarah sebagai berikut:
1.      Jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
2.      Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian, atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
3.      Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian, dan atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita
Dari beberapa uraian di atas dibuat kesimpulan sederhana bahwa sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. Dalam kehidupan manusia, peristiwa sejarah merupakan suatu peristiwa yang abadi, unik, dan penting.
2). Pengertian Sejarah Secara Etimologi
Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, meskipun begitu banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal-muasal dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.
Melihat pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi.[2]


B.       Sejarah hidup imam lima mazhab
1. Imam Hanafi (Abu Hanifah), (80-150 H/ 699-769M)
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zulfi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberikan keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini, muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.
Dilahirkan dikufah pada tahun 80 H/699M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjudnya menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh menjadi dewasa disana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ngulang bacaannya, sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya, sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal memperdalam pengatahuannya tentang Al-Qur’an beliau sempat berguru kepada imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu.
Selain memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqih. Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka beliau mendalami ilmu hadits.
Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri sempat terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau memusatkan perhatian pada soal-soal keilmuan.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqih kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak mejlis ilmu di kufah.[3]
Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun. Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Ummayah dan 18 tahun pada zaman Abbasyiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat yang lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada Allah, yaitu yaitu dari bahasa arab Hanif yang artinya condong atau cenderumg kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Iraq adalah Tinta.[4]
Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiyaya dan ditindas oleh dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak kepada Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya bin Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. Ketika Yazid bin Umar bin Hubairah (zaman dinasti Umayyah) menjadi gubernur Iraq, Abu Hanifah diminta menjadi hakim di pengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menulaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan Juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekkah. Ia tinggal disana selama eman tahun (130-136 H). setelah pemerintah Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan Abbasiah dengan gembira. Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbasiah juga melakukan kekerasan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al-Manshur terhadap Al-Nasf, Al-Zakiah pada tahun 145 hijrih. Abu Hanifah tampil mengeriktik Abbasiah. Ia mengeritik pera Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh Al-Manshur untuk menjadi hakim dipengadilan, Abu Hanifah menulaknya. Akhirnya dia dipenjara dan di cambuk dan ia meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaannya dalam penjara.[5]

Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih diantaranya:
1.      Jami’ Al-Fushulai
2.      Dharar Al-Hukkam
3.      Kitab Fiqih dan Qawaid Fiqih dan lain-lain.
Adapun sumber-sumber hukum Mazhab Hanafi untuk mengambil Istimbath Hukumnya Adalah:
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah
3.      Ijma’ sahabat
4.      Pendapat sahabat pribadi
5.      Qiyas
6.      Istihsan
7.      ‘Urf
2.      Imam Malik bin Anas (93-179 H/712-795 M)
Imam malik bin Annas ialah Malik bin Annas bin Abu Amir, pendiri mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H = 712 M . beliau berasal dari kabilah Yamaniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengatahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu Ibundanya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.[6]
Pada waktu beliau masih kecil, beliau juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak menghalangi ia untuk menuntut ilmu pengatahuan. Pada mulanya beliau belajar dari Rabi’ah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping juga mempelajari ilmu fiqih, nahwu dan lainya dari para sahabat.
Imam malik belajar kepada ulama-ulama Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibn Umar, Imam Malik oleh ulama dimadinah sebagai ahli hadits, beliau menghafal hadits sebanyak 100.000 ribu hadits. Imam Malik adalah seorang tokoh dihijas dalam segala hal, baik fiqih, Al-Qur’an dan hadits, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlul Al-Hadits, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik.[7]
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Bukti atas hal itu, adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata: “Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadits di Madinah, yang paling mengatahui tentang keputusan keputusan Umar, yang paling mengerti tentang pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah ra, dan sahabat-sahabat mereka, atas dasat itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia jelaskan dan memberi fatwa”.
Setelah mencapai tingkat tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengatahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa. Beliau tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, dan bermusyawarah dengan ulama lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang bisa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar tiga puluh satu hadits dari Ibn Syihab tanpa menulisnya, dan ketika kepadanya diminta mengulangi seluruh hadits tersebut, tak satu pun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatnya, terlebih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas didalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengatahuan. Beliau sendiri pernah berkata: “Ilmu itu adalah cahaya, ia akan mudah dicapai dengan hati yang taqwa dan khusyu”. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: “Sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu”.
Karena sifat ikhlasnya yang besar itulah, maka Imam Malik tampak enggan memberi fatwa yang berhubungan dengan soal hukuman. Seorang muridnya Ibn Wahab berkata; “saya mendengar Imam Malik (jika ditanya mengenai hukuman), beliau berkata; Ini adalah urusan pemerintahan. “Imam Syafi’i sendiri pernah berkata; ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Imam Malik. Ketika mendengar suaraku, beliau memandang diriku beberapa saat, kemudian bertanya: siapa namamu? Aku pun menjawab: Muhammad! Dia berkata lagi: Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari demi hari”.
Tak pelak, Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam cabang ilmu tersebut. Imam Malik bahkan pernah menulis kitab Al-Muwatha’, yang merupakan kitab hadits dan fiqih.
Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab maliki tersebar luas dan dianut dibanyak bagian diseluruh dunia.[8]
Dalam menentukan hukum-hukum, Imam Malik memberi runtutan pengambilan sumber hukum dalam mengistinbatkan tasyri, adapun sumber-sumber hukum yang digumakan Imam Malik antara lain:
1.      Al-Qur’an
2.      Hadits (yang shahih dan masyhur)
3.      Ijma’ (amalan ulama Madinah)
4.      Qiyas (analogis)
5.      Maslahah mursalah (kepentingan umum).[9]
3.      Imam Syafi’i (150-204 H/769-820 M)
Imam Syafi’i yang dikenal dengan pendiri Mazhab Syafi’i adalah: Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i. Beliau dilahirkan di Gazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, dan beliau wafat di mesir pada tahun 204 H.[10]
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam suatu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulama hadits yang banyak terdapat di Mekkah. Pada usianya masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur’an.
Pada saat usianya berumur 20 tahun, beliau pergi meninggalkan Mekkah untuk mempelajari Ilmu fiqih kepada seorang ulama yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu dari Syekh Muslim, Imam Syafi’i melanjutkan rehlahnya kemadinah dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama yang terkemuka yaitu imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengatahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq sekali lagi memperlajari fiqih, dari murid Abu Hanifah yang masih ada. Dalam perantauanya, beliau juga sempat mengunjungi persia, dan beberapa tempat lainya.
Setelah wafat Imam Malik, beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajar ilmu disana, bersama Harun Ar-Rasyid, yang telah mendangar tentang kehibatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i memenuhi undangan tersebut. sejak itulah beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak orang yang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.
Tak lama setelah itu, Imam Syafi’i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jemaah ahji yang datang dari berbagai penjuru. Mulai mereka inilah mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas ke penjuru dunia.
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negri Mesir. Beliau mengajar di mesjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amali Kubra, kitab Risalah, Ushul Fiqih, dan memperkenalkan, Qul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam hal menyusun kitab Ushul Fiqih, Imam Syafi’i dikenal sebagai pertama yang mempolopori dalam bidang tersebut.
Di Mesir inilah Akhirnya Imam Syafi’i wafat, setelah menyebarkan ilmu dan mamfaat kepada orang banyak. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang, dan makam beliau dimesir sampai detik ini masih ramai diziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal, diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya.[11]
Adapun Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal itu di utarakan Imam Syafi’i didalam kitab Risalah:
1.      Al-Qur’an
2.      Al-Hadits
3.      Ijma’
4.      Ra’yu (qiyas).[12]
4.      Imam Ahmad Hambali (164-241 H/780-855 M)
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulaan Rabiul Awal tahun 164 H (780 M).
Ahmad bn Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliaumasih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat daan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghafal Al-Qur’an, kemudian belajar bahasa Arab, Hadis, sejarah Nabi dan sejarah sahabat serta para tabi’in.
Untuk memperdalam ilmu, beliua pergi ke Basrah untuk beberapa kali, di sanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. Beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antaranya guru beliau yang lain adalah Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan Hadis, dan beliau tidak mengambil hadis, kecuali hadis-hadis yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnys beliau berhasil mengarang kitab hadis, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hambali. Beliau mulai mengajar ketika berusia empat puluh tahun.
Pada masa pemerintahan Al-Muktasim – Khalifah Abbasiyah beliau sempat di penjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun241 H (855 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.[13]
Adapun pola istimbath Imam Ahmad bin Hambal itu dibangun atas lima dasar yaitu:
1.      Al-Nushush dari Al-Qur’an dan Sunnah.
2.      Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sehabat yang di sepakati sehabat lainnya.
3.      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda maka ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.      Imam Ahmad bin Hambal mengambil Hadits mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya.
5.      Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat.[14]
5.        Imam Ja’far (80-148 H/699-765 M)
Ja’far Ash-Shadiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad saw. Beliau dilahirkan pada tahun 80 hijriah (699 M). Ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Pada beliaulah terdapat perpaduan darah antara darah Nabi saw dengan Abu Bakar As-Siddiq ra.
Beliau berguru langsung dengan ayahnya Muhammad Al-Baqir disekolah ayahnya, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam. Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti ilmu filsafat, tasawuf, fiqih, kimia dan ilmu kedokteran. Beliau adalah Imam yang keenamdari dua belas Imam dari mazhab Syi’ah imamiyah. Di kalangan kaum sufi beliau adalah guru dan Syekh yang besar dan dikalangan ahli kimia beliau dianggap polopor ilmu kimia. Di antaranya beliau menjadi guru Jabir bin Hayyan Ahli kimia dan kedokteran Islam. Dalam mazhab Syi’ah, fiqih Ja’fari-lah sebagai fiqih mereka, karena sebelum Ja’far Ash-Shadiq dan pada masanya tidak ada perselisihan. perselisihan dan perbedaan pendapat baru muncul setelah masa beliau.
Ahlussunnah berpendapat bahwa Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqih, dan dianggap sudah mencapai ketingkat ladunni. Dikalangan para Syekh terkemuka Ahlussunnah,  beliau juga dianggap juga sebagai orang sufi, karena pada dirinya terdapat puncak pengatahuan dan darah Nabi saw yang suci.
Syahrastani mengatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang yang berpengatahuan luas dalam Agama, mempunyai budi pekerti yang sempurna serta sangat bijaksana, zahid dari keduniaan, jauh dari segala hawa nafsu.
Imam Abu Hanifah berkata: “saya tidak dapati orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad”.
Abu Zuhrah berkata: “beliau (Ja’far Ash- Shadiq) berpandukan kitab Allah (Al-Qur’an), pengatahuan serta pandangan beliau sangat jelas, beliau mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari nash-nashnya, beliau berpandukan kepada sunnah, sesungguhnya beliau tidak mengambil melainkan hadits riwayat Ahli Bait Keluarga Nabi)”.[15]


[1] Muhammad Daerobi, “Biografi Para Imam Mazhab Serta Metodelogi Istinbath Hukumnya”. http://diskursusidea.blogspot.com/2013/08/biografi-para-imam-mazhab-serta_18.html
[3] Muhammad Jawad Maqniyah, Fiqih lima mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera 2007), cet, 20.  h. xxv-xxvi.
[4] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002) Cet. 4 h. 188.
[5] Abu Ameanah Bilah Philip, Asal-usul dan Perkembangan Fiqih, (Bandung: Nusa Media, 2005), h. 88
[6] Muhammad Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxvii
[7] Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003), h. 37
[8] Muhammad Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxvii-xxviii
[9] Norcahayakemenangan, “Imam Mazhab Serta Kitab”, http://nurcahayakemenagan.blogspot.com/2013/02/imam-mazhab-serta-kitab.html. Diakses pada tgl 01-05-2014, 06;30
[10] Sirajuddin Abbas, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiah, 1994), h. 14
[11] Muhammad Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxiv-xxx
[12] Sirajuddin Abbas, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, Op. Cit. h. 32
[13] Muhammad Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxxi-xxxii
[14] Norcahayakemenangan, “Imam Mazhab Serta Kitab”, http://nurcahayakemenagan.blogspot.com/2013/02/imam-mazhab-serta-kitab.html. Op.Cit.
[15] Muhammad Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxiii-xxiv

Tidak ada komentar:

Posting Komentar