TUGAS TERSRUKTUR DOSEN
PEMBIMBING
PERBANDINGAN MAZHAB DINY
MAHDANI, S,HI, M.Pd.I
SEJARAH HIDUP IMAM MAZHAB (5 MAZHAB)
Disusun oleh:
Annisa firawati
2012121570
Muhammad Busyairi
2012 121 575
SEKULAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI)
DARUL ULUM
KANDANGAN
TAHUN AKADEMIK
2013-2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Untuk memahami
sejarah hukum Islam (tasry’)
secara sempurna sangatlah sulit manakala tidak membahas mengenai biografi Imam itu sendiri.
Dari biografi
menurut sejarawan mendapatkan sebuah karakter ijtihad yang telah dihasilkan
sesuai dengan pribadinya dalam memecahkan persoalan manakala melihat kejadian
hukum dilapangan (law in action) yang diterka dengan
landasan normativitas (law in book). Kemudian dari melihat
persoalan yang ada para ulama memecahkan persoalan menggunakan pola metodelogi
tertentu yang kurang lebih dipengaruhi oleh beberapa indikator, baik keilmuan
ataupun fakta hukum yang menjeratnya, sehingga mau tidak mau para ulama membuat
rangkai pola bagaimana mengeluarkan hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung
oleh nas al-Qur’an dan Sunna atau
usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) atau para
ulama biasa menyebutnya dengan istinbath hukum.[1]
B.
Rumusan masalah
1.
Apa
pengertian sejarah?
2.
Bagaimana
sejarah hidup Imam Mazhab (5 Mazhab)?
C.
Tujuan masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok serta supaya mahasiswa dapat
mengatahui tentang biografi ulama lima mazhab.
BAB
II
PEMBAHASAN
SEJARAH
HIDUP IMAM MAZHAB (5 MAZHAB)
A.
Pengertian sejarah
Sejarah merupakan
kejadian masa lampau yang tak boleh kita lupakan, karena tanpa adanya
sejarah kita tidak akan ada pada zaman seperti sekarang ini.
1). Pengertian sejarah
menurut para ahli:
Roeslan
Abdulgani
Ilmu
sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki
secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa
lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara
kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan
perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah
proses masa depan.
Muhammad
Yamin
Sejarah
adalah suatu ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa
peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan kenyataan.
Ibnu
Khaldun (1332-1406)
Sejarah
didefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban
manusia yang terjadi pada watak/sifat masyarakat itu.
W.H.
Walsh
Sejarah
itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia.
Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia di
masa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti.
Muhammad
Ali
Muhammad
Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, mempertegas pengertian
sejarah sebagai berikut:
1. Jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di
sekitar kita.
2. Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian, atau peristiwa dalam kenyataan
di sekitar kita.
3. Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian, dan atau
peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita
Dari beberapa uraian di atas dibuat kesimpulan
sederhana bahwa sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan
umat manusia. Dalam kehidupan manusia, peristiwa sejarah merupakan suatu
peristiwa yang abadi, unik, dan penting.
2). Pengertian Sejarah Secara Etimologi
Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya pohon. Dalam
bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ
). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu
atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia
yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi
history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan
tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah
sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa
variasi, meskipun begitu banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah
berasal-muasal dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal
dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman
geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal
gescheiedenis.
Melihat pada makna secara kebahasaan dari berbagai
bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan
waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami satu
peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat
periodisasi.[2]
B. Sejarah hidup imam lima mazhab
1. Imam
Hanafi (Abu Hanifah), (80-150 H/ 699-769M)
Imam
Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin
Zulfi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan
Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni
agar Allah memberikan keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan
Tsabit ini, muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.
Dilahirkan
dikufah pada tahun 80 H/699M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abdul Malik,
Abu Hanifah selanjudnya menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh menjadi dewasa
disana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an.
Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ngulang bacaannya, sehingga ayat-ayat
suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya, sekaligus menjadikan
beliau lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal
memperdalam pengatahuannya tentang Al-Qur’an beliau sempat berguru kepada imam
Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu.
Selain
memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqih. Dalam hal ini
kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa
dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka beliau mendalami ilmu
hadits.
Keluarga
Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri sempat terlibat
dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau memusatkan perhatian
pada soal-soal keilmuan.
Beliau
juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai
gambaran, beliau pernah belajar fiqih kepada ulama yang paling terpandang pada
masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.
Setelah wafat gurunya, Imam Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak mejlis
ilmu di kufah.[3]
Beliau
meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Ummayah dan 18 tahun pada zaman
Abbasyiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali.
Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama
Hanifah. Selain itu, menurut riwayat yang lain beliau bergelar Abu Hanifah,
karena beliau begitu taat beribadah kepada Allah, yaitu yaitu dari bahasa arab
Hanif yang artinya condong atau cenderumg kepada yang benar. Menurut riwayat
lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau
dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Iraq adalah Tinta.[4]
Sikap
politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiyaya dan
ditindas oleh dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak kepada Hisyam dan terbunuh,
termasuk putranya Yahya bin Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. Ketika Yazid bin
Umar bin Hubairah (zaman dinasti Umayyah) menjadi gubernur Iraq, Abu Hanifah
diminta menjadi hakim di pengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia
menulaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun,
atas pertolongan Juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan
pindah ke Mekkah. Ia tinggal disana selama eman tahun (130-136 H). setelah
pemerintah Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan
Abbasiah dengan gembira. Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani
Abbasiah juga melakukan kekerasan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang
dilakukan oleh Al-Manshur terhadap Al-Nasf, Al-Zakiah pada tahun 145 hijrih.
Abu Hanifah tampil mengeriktik Abbasiah. Ia mengeritik pera Hakim dan Mufti
pemerintah. Ketika diminta oleh Al-Manshur untuk menjadi hakim dipengadilan,
Abu Hanifah menulaknya. Akhirnya dia dipenjara dan di cambuk dan ia meninggal
pada tahun 150 H akibat penderitaannya dalam penjara.[5]
Ulama
Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih diantaranya:
1.
Jami’
Al-Fushulai
2.
Dharar
Al-Hukkam
3.
Kitab
Fiqih dan Qawaid Fiqih dan lain-lain.
Adapun
sumber-sumber hukum Mazhab Hanafi untuk mengambil Istimbath Hukumnya Adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah
3.
Ijma’
sahabat
4.
Pendapat
sahabat pribadi
5.
Qiyas
6.
Istihsan
7.
‘Urf
2.
Imam Malik bin Anas (93-179 H/712-795 M)
Imam
malik bin Annas ialah Malik bin Annas bin Abu Amir, pendiri mazhab Maliki,
dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H = 712 M . beliau berasal dari kabilah
Yamaniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu
pengatahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak
kurang dari itu Ibundanya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa
giat menuntut ilmu.[6]
Pada
waktu beliau masih kecil, beliau juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak
menghalangi ia untuk menuntut ilmu pengatahuan. Pada mulanya beliau belajar
dari Rabi’ah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu. Selain itu,
beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping juga mempelajari
ilmu fiqih, nahwu dan lainya dari para sahabat.
Imam
malik belajar kepada ulama-ulama Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya
adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibn
Umar, Imam Malik oleh ulama dimadinah sebagai ahli hadits, beliau menghafal
hadits sebanyak 100.000 ribu hadits. Imam Malik adalah seorang tokoh dihijas
dalam segala hal, baik fiqih, Al-Qur’an dan hadits, Imam Malik tumbuh besar
dikalangan ulama Ahlul Al-Hadits, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam
Malik.[7]
Karena
ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang
terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Bukti atas hal itu,
adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata: “Malik adalah orang yang paling
ahli dalam bidang hadits di Madinah, yang paling mengatahui tentang keputusan keputusan
Umar, yang paling mengerti tentang pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah
ra, dan sahabat-sahabat mereka, atas dasat itulah dia memberi fatwa. Apabila
diajukan kepada suatu masalah, dia jelaskan dan memberi fatwa”.
Setelah
mencapai tingkat tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar,
karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengatahuannya kepada
orang lain yang membutuhkan.
Meski
begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa. Beliau tak lupa
untuk terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, dan bermusyawarah
dengan ulama lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah.
Diriwayatkan bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang bisa diajak
bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Imam
Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar
tiga puluh satu hadits dari Ibn Syihab tanpa menulisnya, dan ketika kepadanya
diminta mengulangi seluruh hadits tersebut, tak satu pun dilupakannya. Imam
Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatnya, terlebih lagi karena pada
masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits secara tertulis. Karenanya
karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
Selain
itu, beliau dikenal sangat ikhlas didalam melakukan sesuatu. Sifat inilah
kiranya yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu
pengatahuan. Beliau sendiri pernah berkata: “Ilmu itu adalah cahaya, ia akan
mudah dicapai dengan hati yang taqwa dan khusyu”. Beliau juga menasehatkan
untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: “Sebaik-baik pekerjaan
adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan,
maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu”.
Karena
sifat ikhlasnya yang besar itulah, maka Imam Malik tampak enggan memberi fatwa
yang berhubungan dengan soal hukuman. Seorang muridnya Ibn Wahab berkata; “saya
mendengar Imam Malik (jika ditanya mengenai hukuman), beliau berkata; Ini
adalah urusan pemerintahan. “Imam Syafi’i sendiri pernah berkata; ketika aku
tiba di Madinah, aku bertemu dengan Imam Malik. Ketika mendengar suaraku,
beliau memandang diriku beberapa saat, kemudian bertanya: siapa namamu? Aku pun
menjawab: Muhammad! Dia berkata lagi: Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah,
jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari demi hari”.
Tak
pelak, Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam
ilmu hadits dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam cabang
ilmu tersebut. Imam Malik bahkan pernah menulis kitab Al-Muwatha’, yang
merupakan kitab hadits dan fiqih.
Imam
Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab maliki
tersebar luas dan dianut dibanyak bagian diseluruh dunia.[8]
Dalam
menentukan hukum-hukum, Imam Malik memberi runtutan pengambilan sumber hukum
dalam mengistinbatkan tasyri, adapun sumber-sumber hukum yang digumakan Imam
Malik antara lain:
1.
Al-Qur’an
2.
Hadits
(yang shahih dan masyhur)
3.
Ijma’
(amalan ulama Madinah)
4.
Qiyas
(analogis)
5.
Maslahah
mursalah (kepentingan umum).[9]
3.
Imam Syafi’i (150-204 H/769-820 M)
Imam
Syafi’i yang dikenal dengan pendiri Mazhab Syafi’i adalah: Abu Abdillah
Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i. Beliau dilahirkan di Gazzah, pada
tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i adalah
keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, dan beliau wafat di
mesir pada tahun 204 H.[10]
Meski
dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam suatu keluarga yang miskin, tidak
menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan
giat mempelajari hadits dari ulama-ulama hadits yang banyak terdapat di Mekkah.
Pada usianya masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur’an.
Pada
saat usianya berumur 20 tahun, beliau pergi meninggalkan Mekkah untuk
mempelajari Ilmu fiqih kepada seorang ulama yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu
imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu dari Syekh Muslim, Imam Syafi’i
melanjutkan rehlahnya kemadinah dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama yang
terkemuka yaitu imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengatahuannya,
beliau kemudian pergi ke Iraq sekali lagi memperlajari fiqih, dari murid Abu
Hanifah yang masih ada. Dalam perantauanya, beliau juga sempat mengunjungi
persia, dan beberapa tempat lainya.
Setelah
wafat Imam Malik, beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajar ilmu
disana, bersama Harun Ar-Rasyid, yang telah mendangar tentang kehibatan beliau,
kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i memenuhi undangan
tersebut. sejak itulah beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak orang yang
belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.
Tak
lama setelah itu, Imam Syafi’i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jemaah
ahji yang datang dari berbagai penjuru. Mulai mereka inilah mazhab Syafi’i
menjadi tersebar luas ke penjuru dunia.
Pada
tahun 198 H, beliau pergi ke negri Mesir. Beliau mengajar di mesjid Amru bin
As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amali Kubra, kitab Risalah, Ushul Fiqih,
dan memperkenalkan, Qul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam hal menyusun
kitab Ushul Fiqih, Imam Syafi’i dikenal sebagai pertama yang mempolopori dalam
bidang tersebut.
Di
Mesir inilah Akhirnya Imam Syafi’i wafat, setelah menyebarkan ilmu dan mamfaat
kepada orang banyak. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang, dan
makam beliau dimesir sampai detik ini masih ramai diziarahi orang. Sedang
murid-murid beliau yang terkenal, diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin
Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya’qub Yusuf bin
Yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya.[11]
Adapun
Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal itu di utarakan Imam Syafi’i
didalam kitab Risalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Al-Hadits
3.
Ijma’
4.
Ra’yu
(qiyas).[12]
4.
Imam Ahmad Hambali (164-241 H/780-855 M)
Imam
Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah bin Muhammad bin Hambal bin Hilal
Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulaan Rabiul Awal tahun 164 H
(780 M).
Ahmad
bn Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika
beliaumasih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat daan pribadi yang
mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau
telah menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat
itu Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan
belajar menghafal Al-Qur’an, kemudian belajar bahasa Arab, Hadis, sejarah Nabi
dan sejarah sahabat serta para tabi’in.
Untuk
memperdalam ilmu, beliua pergi ke Basrah untuk beberapa kali, di sanalah beliau
bertemu dengan Imam Syafi’i. Beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan
Mesir. Di antaranya guru beliau yang lain adalah Al-Hasan bin Ziad, Husyaim,
Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan
meriwayatkan Hadis, dan beliau tidak mengambil hadis, kecuali hadis-hadis yang
sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnys beliau berhasil mengarang kitab
hadis, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hambali. Beliau mulai mengajar
ketika berusia empat puluh tahun.
Pada
masa pemerintahan Al-Muktasim – Khalifah Abbasiyah beliau sempat di penjara,
karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.
Imam
Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun241
H (855 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab
Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak
penganut.[13]
Adapun
pola istimbath Imam Ahmad bin Hambal itu dibangun atas lima dasar yaitu:
1.
Al-Nushush
dari Al-Qur’an dan Sunnah.
2.
Apabila
tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sehabat yang di
sepakati sehabat lainnya.
3.
Apabila
fatwa sahabat berbeda-beda maka ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.
Imam
Ahmad bin Hambal mengambil Hadits mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil
yang menghalanginya.
5.
Qiyas
adalah digunakan dalam keadaan darurat.[14]
5.
Imam Ja’far (80-148 H/699-765 M)
Ja’far
Ash-Shadiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein
bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad saw.
Beliau dilahirkan pada tahun 80 hijriah (699 M). Ibunya bernama Ummu Farwah
binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Pada beliaulah terdapat
perpaduan darah antara darah Nabi saw dengan Abu Bakar As-Siddiq ra.
Beliau
berguru langsung dengan ayahnya Muhammad Al-Baqir disekolah ayahnya, yang
banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam. Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang
ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti ilmu filsafat, tasawuf, fiqih,
kimia dan ilmu kedokteran. Beliau adalah Imam yang keenamdari dua belas Imam
dari mazhab Syi’ah imamiyah. Di kalangan kaum sufi beliau adalah guru dan Syekh
yang besar dan dikalangan ahli kimia beliau dianggap polopor ilmu kimia. Di
antaranya beliau menjadi guru Jabir bin Hayyan Ahli kimia dan kedokteran Islam.
Dalam mazhab Syi’ah, fiqih Ja’fari-lah sebagai fiqih mereka, karena sebelum
Ja’far Ash-Shadiq dan pada masanya tidak ada perselisihan. perselisihan dan
perbedaan pendapat baru muncul setelah masa beliau.
Ahlussunnah
berpendapat bahwa Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqih,
dan dianggap sudah mencapai ketingkat ladunni. Dikalangan para Syekh terkemuka Ahlussunnah, beliau juga dianggap juga sebagai orang sufi,
karena pada dirinya terdapat puncak pengatahuan dan darah Nabi saw yang suci.
Syahrastani
mengatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang yang berpengatahuan luas
dalam Agama, mempunyai budi pekerti yang sempurna serta sangat bijaksana, zahid
dari keduniaan, jauh dari segala hawa nafsu.
Imam
Abu Hanifah berkata: “saya tidak dapati orang yang lebih faqih dari Ja’far bin
Muhammad”.
Abu
Zuhrah berkata: “beliau (Ja’far Ash- Shadiq) berpandukan kitab Allah
(Al-Qur’an), pengatahuan serta pandangan beliau sangat jelas, beliau
mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari nash-nashnya, beliau berpandukan kepada
sunnah, sesungguhnya beliau tidak mengambil melainkan hadits riwayat Ahli Bait
Keluarga Nabi)”.[15]
[1] Muhammad Daerobi, “Biografi Para Imam
Mazhab Serta Metodelogi Istinbath Hukumnya”.
http://diskursusidea.blogspot.com/2013/08/biografi-para-imam-mazhab-serta_18.html
[2]
http://mobelos.blogspot.com/2013/10/pengertian-sejarah-definisi-sejarah.html.
Diakses tnggl 29-04-2014, 12;30.
[3] Muhammad
Jawad Maqniyah, Fiqih lima mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera 2007),
cet, 20. h. xxv-xxvi.
[4] M. Ali
Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002) Cet. 4 h.
188.
[5] Abu
Ameanah Bilah Philip, Asal-usul dan Perkembangan Fiqih, (Bandung: Nusa
Media, 2005), h. 88
[6] Muhammad
Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxvii
[7] Hasan
Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003),
h. 37
[8] Muhammad
Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxvii-xxviii
[9] Norcahayakemenangan,
“Imam Mazhab Serta Kitab”, http://nurcahayakemenagan.blogspot.com/2013/02/imam-mazhab-serta-kitab.html. Diakses
pada tgl 01-05-2014, 06;30
[10]
Sirajuddin Abbas, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:
Pustaka Tarbiah, 1994), h. 14
[11] Muhammad
Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxiv-xxx
[12] Sirajuddin
Abbas, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, Op. Cit. h. 32
[13] Muhammad
Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxxi-xxxii
[14]
Norcahayakemenangan, “Imam Mazhab Serta Kitab”, http://nurcahayakemenagan.blogspot.com/2013/02/imam-mazhab-serta-kitab.html. Op.Cit.
[15] Muhammad
Jawad Maqniyah, Fiqih Lima Mazhab, Op. Cit, h. xxiii-xxiv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar